Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Iklan

Iklan

Masih kah kalian sembunyikan lagi asal usul beberapa wali Songo di pulau Jawa itu dari Aceh, Itu akan kalian mendapatkan kuwalat

Kamis, 15 Mei 2025 | Mei 15, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-16T03:47:45Z
Kamera. Com
Sejarah Walisongo Diseminarkan di Aceh, Mungkinkah?

OLEH T.A. SAKTI, Mantan dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala dan pengelola Bale Tambeh, melaporkan dari Banda Aceh.
Editor: bakri

ANDA tak perlu heran membaca judul di atas.

Sebagai bangsa Indonesia (yang berdomisili di Aceh) kita memang dituntut untuk memahami sejarah tanah air, termasuk di dalamnya sejarah Walisongo.

Jadi, Walisongo itu tidak mutlak milik masyarakat Jawa.

Apalagi dalam penelusuran sejarah asal-usul Walisongo, ternyata asal mula sebagian mereka berasal dari Aceh, yakni Kerajaan Samudra Pasai.

Demikianlah yang tersurat dan tersirat dalam berbagai bentuk “literatur”, baik dalam babad, carita, lagenda, ketoprak, tembang-tembang, nyanyian dolanan anak-anak, buku-buku, majalah, film, dan sebagainya.

Kesemua sumber itu sepakat bahwa sebagian Walisongo itu benarbenar berasal dari Aceh.

Kalau merujuk kepada pendapat para pengarang generasi awal serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa enam dari sembilan wali (Wali Songo) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa itu berasal dari Aceh.

Mereka adalah 1) Maulana Malik Ibrahim, 2) Malik Ishak (Sunan Giri), 3) Ali Rahmatullah/ Raden Rahmat (Sunan Ampel), 4) Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), 5) Masaih Munad (Sunan Drajat), dan 6) Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati).

Namun, sekitar tahun ‘70- an yang lalu pendapat yang berbeda mulai muncul.

Sejauh yang saya amati, pendapat yang berlainan itu ditulis dalam beberapa buku yang kemudian dikutip dalam majalah dan surat kabar.

Dalam ‘versi baru’ itu, sejarah Walisongo sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.

Pada umumnya, para penulis sejarah Walisongo versi baru ini bukanlah membantah keterkaitan kehidupan Walisongo dengan Aceh, melainkan tidak menyinggung sama sekali bahwa asal-usul mereka dari Kerajaan Samudra Pasai.

Salah satu contoh versi baru yang paling kontroversial mengenai hal itu terdapat dalam buku yang ditulis Prof Ir Slamet Mulyana yang menyebutkan bahwa delapan orang dari Walisembilan itu berasal dari Cina.

Ia juga menukilkan bahwa raja Islam pertama di Jawa juga berasal dari Cina, yakni Raden Patah atau yang bernama asli Jin Bun atau Cek Ko Po.

Secara pribadi beberapa tahun lalu, saya pernah minta bantuan seorang teman yang sejarawan, yakni Dr Agust Supriyono, Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang untuk menulis satu artikel mengenai sejarah Walisongo.

Ternyata yang saya terima juga versi baru yang sama sekali tiada kaitannya dengan sejarah Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.

Nah, dalam hal ini, apakah semua penulis sejarah Walisongo di Jawa sudah menjadi “pembohong sejarah”? 

Berdasarkan perkembangan itulah, saya berpendapat bahwa sudah tiba saatnya diadakan sebuah seminar berskala besar; bertaraf intersional di Aceh, dengan pokok bahasan sejarah Walisongo.

Dalam seminar itu nantinya, semua penulis yang ‘berminat’ pada sejarah Walisongo perlu dilibatkan, baik yang asal Aceh maupun dari luar Aceh.

Mengundang pihak pro-kontra mengenai asal-usul Walisongo amatlah penting dalam upaya mewujudkan sejarah Walisongo yang lebih berbobot, tidak asal-asalan alias ‘beujithee le kaphe’ (agar diakui dunia).

Hanya saja, para penulis sejarah generasi lama asal Aceh yang berminat pada sejarah Walisongo hampir semuanya telah berpulang ke rahmatullah.

Mereka itu adalah Dada Meuraxa, HM Zainuddin, Teungku M Junus Jamil, Prof Ali Hasjmy, dan Tuwanku Abdul Jalil.

Sayangnya mereka tidak menampilkan regenerasi pengganti.

Buku dan tulisan karya merekalah yang masih kita warisi.

Peminat sejarah Aceh generasi baru pada umumnya tidaklah mampu seperti generasi lama.

Nyaris tidak sebuah buku pun dapat dihasilkan kelompok ini secara pribadi, khususnya yang terkait dengan sejarah Walisongo.

Buku-buku yang mereka tulis lebih merupakan kegiatan kelompok dan umumnya termasuk buku pesanan atau proyek pemerintah.

Mereka lebih berperan sebagai ‘juru bicara’ yang mengulangi dan menyebarkan kembali isi buku daripara penulis lama.

Maka dari Aceh, kelompok inilah yang dapat diundang ke seminar besar Walisongo itu kelak.

Pilihan undangan terbanyak tentulah dari luar Aceh, terutama dari Jawa.

Memang ada seorang sejarawan lain dari luar Jawa yang amat ‘mencintai’ sejarah Walisongo , yakni Prof Dr Hamka, tapi beliau pun telah meninggal dunia.

Banyaknya penulis sejarah Walisongo asal Jawa adalah wajar.

Sebab, kesemua makam para wali itu letaknya di Jawa, tersebar mulai Jawa Timur hingga ke Jawa Barat.

Selain itu, tradisi penulisan sejarah wali juga cukup kuat di Jawa, berlangsung terus menerus dari abad ke abad.

Barangkali ini bedanya dengan kita di Aceh.

Di antara manuskrip terkenal tentang Walisongo adalah Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Serat Walisongo karya Ronggo Warsito, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem alias Sunan Giri II, dan Naskah dari Klenteng Sam Po Kong.

Naskah yang berasal dari Klenteng Sam Po Kong inilah yang dipakai oleh Prof Ir Slamet Mulyana sebagai sumber, yang telah merusak “jalur sejarah” penyebaran Islam dari Aceh ke seluruh Asia Tenggara.

Kecuali naskah terakhir, kesemua manuskrip di atas mengakui bahwa sebagian Walisongo asal Aceh dan Kerajaan Campa adalah Kerajaan Jeumpa di Aceh pula, dan sama sekali bukan negeri Champa di Negara Kamboja.

Bila para penulis mengenai Walisongo tempo dulu yang menulis dalam bahasa Jawa dan huruf Jawa cukup banyak, begitu pula dengan penulis kisah Walisongo di era Republik Indonesia sekarang juga tidak sedikit di Jawa.

Kini mereka menulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Latin.

Buku-buku karya mereka beredar di seluruh tanah air dan bahkan hingga ke mancanegara.

Oleh karena itu, sekiranya Seminar Internasional tentang Walisongo benar-benar bisa dilaksanakan di Aceh, maka para penulis buku Walisongo dari Jawa perlu lebih banyak diundang ke seminar itu.

Mungkinkah dan pihak mana yang semestinya bertanggung jawab untuk merealisasikan gagasan ini? 

Kiranya Pemerintah Aceh, Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-Raniry, Universitas Teuku Umar, Universias Malikul Saleh, dan perguruan tinggi lainnya di Aceh serta dayah-dayah besar di Aceh perlu bersatu padu untuk terlaksananya gagasan ini.(*)
#sejarawan_Aceh
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update